Modal Sosial Tumpuan Hidup Pasar Tradisional
Pemangku kepentingan sering kali melupakan variabel paling penting dari aktivitas perdagangan, yakni sisi manusianya sebagai langkah dalam memperbaiki pasar tradisional. Pasar tradisional sering hanya dilihat sebagai bangunan yang perlu diperbaiki dan besaran modal yang harus disuntikkan.
Akibat dari pandangan itu, menurut Direktur Sekolah Pasar Tradisional Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Awan Santosa, kebijakan yang diambil pemerintah sering salah arah. Perbaikan pasar tradisional justru mengusir pelaku utama pasar tradisional, dan suntikan modal justru membuat pasar tradisional menjadi sapi perahan bagi perusahaan keuangan.
Perbaikan penting, modal penting, tetapi modal sosial juga harus dikawal karena ini kekuatan sesungguhnya dari pasar tradisional.
“Perbaikan penting, modal penting, tetapi modal sosial juga harus dikawal karena ini kekuatan sesungguhnya dari pasar tradisional,” demikian kata Awan Santosa di Yogyakarta, baru-baru ini.
Awan mengungkapkan keunggulan pasar tradisional justru terletak pada modal sosial itu, yakni nilai kerakyatan dan kemandirian. Nilai kerakyatan tecermin dari jumlah pelaku sebanyak 17 juta yang tersebar di hampir 14 ribu pasar tradisional di Indonesia. Nilai kemandirian bisa dilihat dari barang yang dijajakan yang mayoritas adalah produk lokal.
Nilai-nilai itu terancam individualisme pasar bebas, budaya konsumtif yang disebarkan bersamaan dengan kolonisasi ekonomi yang semuanya ditunjang oleh kelemahan pasar tradisional sendiri. Kelemahan itu misalnya pada kebersatuan usaha yang rendah, teknologi yang tak berkembang, inovasi terbatas, dan pendidikan yang minim.
Oleh karena itu, Pustek UGM memandang perlu didirikan sekolah di pasar-pasar tradisional untuk menjawab kebutuhan peningkatan sumber daya manusia pasar tradisional yang selama ini terabaikan. Dimulai di pasar Kranggan Yogyakarta, Sekolah Pasar Tradisional, seperti layaknya sekolah pada umumnya, memberikan pembelajaran dengan kurikulum terstandar yang diberikan gratis untuk para pedagang pasar tradisional.
“Kurikulum berjenjang dari dasar, menengah, hingga lanjut. Bahasannya dari pembukuan sederhana hingga penyusunan strategi,” jelas Awan.
Pembelajaran yang dikembangkan di sini menggunakan pendekatan hadap-masalah dan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan. Sedangkan tenaga pengajar Sekolah Pasar adalah siapa pun yang bersedia membagi ilmunya bagi kemajuan pasar tradisional.
Mereka dapat berasal dari akademisi (dosen, mahasiswa, dan peneliti), aktivis LSM, teknokrat, pegiat koperasi pasar, termasuk dari berbagai unsur di dalam pasar tradisional itu sendiri.
“Kita sudah punya banyak relawan. Dan sebagai bagian dari elemen Sekolah Pasar maka pada saat yang bersamaan dapat dikembangkan Klinik Pasar, sebagai media konsultasi lanjutan bagi para pelaku usaha pasar tradisional,” kata Awan.
Bersikap optimistis, Sekolah Pasar Tradisional menargetkan dalam 10 tahun ke depan bisa mewujudkan pasar tradisional di seluruh Indonesia yang mandiri, berkoperasi, dan terkoneksi. Dalam 15 tahun ke depan bisa ekspansi dengan interkoneksi dengan pasar tradisional di seluruh dunia.
“Perlu bantuan banyak pihak untuk mewujudkan hal itu, tapi kami yakin, dengan strategi kami cita-cita tersebut bisa terwujud,” tutur Awan.YK/E-12
Sumber: Koran Jakarta, Sabtu, 28 Januari 2012